Kamis, 19 November 2015

ANALISIS KISAH-KISAH INTERAKSI EDUKATIF PERSPEKTIF AL-QUR’AN


A. Konsep Interaksi Edukatif dalam Perspektif Al-Qur’an
Pada bab ini merupakan pembahasan integral interaksi pendidikan dalam
al-Qur’an dari obyek yang dikaji, meliputi Nabi Musa dan Nabi Khidir, Nabi
Ibrahim dan Ismail, dan yang terakhir Luqman Hakim. Sesuai dengan tertib
rumusan masalah, maka analisis berikut berawal dari konsep interaksi edukatif
dalam perspektif al-Qur’an.
Pada kajian ini diperoleh gambaran awal bahwa sebagian kisah-kisah
pendidikan yang dinarasikan al-Qur’an, secara filosofis memuat fariabel-fariabel
unsur baku konsep pembentuk interaksi pendidikan. Diantaranya:
1. Tujuan pendidikan.
2. Materi pendidikan.
3. Pendidik dengan segala kompetensinya.
4. Anak didik dengan etika akademiknya.
5. Metode pendidikan dengan efektifitasnya.
6. Evaluasi

Unsur dasar tersebut selama ini lazimnya diposisikan sebagai perpaduanantara faktor teoritis dan praktis yang memunculkan keyakinan akan kegiatan pendidikan terhadap manusia, oleh manusia, bertujuan mengembangkan hakekat kemanusiaan.
Dari unsur pokok inilah maka kita akan membahas konsep interaksiedukatif secara terperinci yang ada pada kisah-kisah dalam al-Qur’an.
1. Tujuan pendidikan dan Materi pendidikan
Tujuan pendidikan dalam kisah-kisah al-Qur’an diformulasikan darimuatan materi yang dijarkan oleh masing-masing pelaku pendidikan dalam interaksinya dengan anak didiknya (Nabi Musa dan Nabi Khidir, NabiIbrahim dan Ismail, dan yang terakhir Luqman Hakim). Pada intinya materi pendidikan dalam al-Qur’an dikelompokkan dalam tiga aspek yaitu akidah, syari’ah dan akhlak. Namun tidak semua kisah yang di kaji dalam tulisan ini memuat materi tersebut.
Pada pendidikan Khidir dan Musa materi, yang diberikan menekankanpada aspek akhlak dan keimanan. Sedangkan pendidikan yang dilakukan Ibrahim terhadap Ismail menekankan pada aspek aqidah dan syari’ah. Kemudian pendidikan yang dilakukan Luqman terhadap anaknya meliputiketiga aspek tersebut yaitu, aqidah, syari’ah dan akhlak.
Interaksi pendidikan Khidir dan Musa Dalam kisah di atas diisyaratkan
pada tiga materi penting yang diberikan oleh Khidir terhadap Musa, membocorkan perahu, membunuh anak, dan memperbaiki tembok rumah.
Materi tersebut hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, sedangkan
inti materi pelajaran tersebut adalah akhlak dan akidah; pelajaran pertama,mengambil tindakan yang kecil bahayanya, untuk menghilangkan atau menolak bahaya yang lebih besar. Ini merupakan prinsip bagi pola tingkahlaku muslim, sebagai dasar bagi akhlak mereka.
Pelajaran kedua, membunuh anak kecil. Ditinjau dari pandangan lahir,perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela dan dosa besar. Tapi bila ditelusuri lebih lanjut di dalamnya terdapat materi aqidah. Yaitu, seorang hendaknya rela akan takdir Allah, karena takdir Allah bagi seorang mukmin lebih baik dari apa yang disenanginya. Selain itu juga anak tersebut sengaja dibunuh agar orang tuanya terpelihara dari kesesatan dan kekejaman anak itu
guna mempertahankan keimanan dan agama yang dianut oleh orang tua itu.
Pelajaran ketiga, memperbaiki tembok rumah. hikmah yang terkandung dari pelajaran tersebut bahwa Allah akan memelihara orang yang shaleh beserta keturunannya (kedua anaknya dalam usia belianya dan masa lemahnya), walaupun mereka berjauhan. Pelajaran bagi umat Islam antar lain adalah bahwa kita harus menolong sesama manusia dengan ikhlas tanpa pamrih. Pada materi yang terakhir ini Khidir juga menenkankan materi akhlakkepada Musa.
Dan dari kasus Nabi Musa dan Khidir, pada pertemuan pertama antaraNabi Musa dan Khidir telah dipaparkan asal usul Musa yang bermula ketika sifat takabbur Musa muncul pada saat berpidato, sehingga ia mendapatkan teguran dari Allah. Latar belakang Musa ini kiranya menjadi bahan masukan bagi Nabi Khidir dalam merumuskan tujuan pendidikan, yakni pembinaan akhlak, dari kesombongan berbalik menjadi rendah hati, sabar dan tawadhu dalam situasi bagaimanapun. Sehingga dengan akhlak yang baik itu diharapkan dapat mempertebal keimanan kita kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Dibalik materi penyembelihan Ibrahim terhadap Ismail terdapat materipendidikan terkait yaitu aspek keimanan dan emosional (syari’ah). Perintah penyembelihan sangat berhubungan dengan hak hidup pribadi Ismail. Untuk melaksanakan perintah itu tidak saja melibatkan kesiapan emosional, tetapi juga kemantapan spiritual (iman). Pada tahapan ini, Ismail telah menunjukkan dedikasi yang tinggi dengan totalitas kesiapan emosionalnya untuk
melaksanakan prosesi korban.
Inti dari pendidikan Ibrahim adalah humanisasi (memanusiakanmanusia) dengan patuh kepada Allah. Pendidikan humanis ini berisi nilai-nilaikeutamaan atau kebajikan yang dapat mengangkat kemuliaan manusia. Tujuan ini direalisasikan dengan membangun citra manusia yang taat kepada nilainlai kemanusiaan yang diperintahkan oleh Allah. Nilai kemanusiaan ditegakkan di atas sifat-sifat luhur budaya manusia yang terbebas dari sifatsifat
kebinatangan. Dengan pendidikan humanis ini diharapkan menjadi manusia yang sehat lahir batin. Pendidikan menjadikan anak mampu mengembangkan potensi dirinya dan mapu memilih dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Upaya inilah yang
terlihat dalam model pendidikan Ibrahim terhadap Ismail.
Materi pendidikan yang diterapkan oleh Luqman hakim pada anaknyameliputi empat hal, antara lain:
1)      Pendidikan keimanan (aqidah).
Pendidikan inilah yang pertama kali dilakukan oleh Luqman kepada anaknya untuk menanamkan keyakinan bahwa Allah sebagai Dzat Yang Maha Esa yang harus disembah dan melarang perbuatan syirik.
2)      Pendidikan syari’ah(ibadah).
Ruang lingkup Syari’ah meliputi interaksi vertikal seorang hambadengan Allah yang direalisasikan melalui ibadah Luqman mengajarkan shalatkepada anaknya, dan interaksi horizontal yang dilakukan dengan sesamamanusia (muamalah), lalu memerintahkan kepada anaknya untukmembiasakan bersikap baik terhadap keluarga terdekat.
3)      Pendidikan akhlak,
pendidikan yang mula-mula dilakukan Luqman kepada anaknya adalahdengan memperkenalkan etika baik terhadap kedua orang tua. Kemudianberikutnya diajarkan padanya akhlak dalam konteks kemasyarakatan (sosial).
Yang di dalamnya mencakup, pendidikan dakwah (amar ma’ruf nahi munkar)
dan bersabar. Selain itu juga terdapat pendidikan etika yang lain, diantaranya adalah etika pergaulan (bertemu), berbicara dan berjalan. Jika dilihat dalam kisah ini dapat diketahui bahwa tiga prinsip dasar Luqman Hakim kepada anaknya tersebut memenuhi target untuk membentuk insan kamil yang terdiri dari kesempurnaan aqidah, syari’ah dan akhlak (iman,
Islam dan ihsan) yang dijadikan sebagai tujuan pendidikan Luqman.

2. Pendidik dengan segala kompetensinya.
Berbicara masalah interaksi belajar mengajar (edukatif), maka kita
tidak bisa lepas dari hal ”guru” atau ”pendidik”. Guru merupakan salah satu
komponen dalam proses belajar mengajar, karena besarnya peranan tersebut
maka seorang guru atau pendidik harus memiliki kompetensi-kompetensi.
Sifat-sifat dasar (kompetensi) pendidik pada kisah-kisah dalam al-Qur’an ini
meliputi bijaksana, penuh kasih sayang, demokratis, mengenal murid dan
memahami kejiwaaannya, berpengetahuan luas, memahami materi, sabar dan
ikhlas. Dalam perspektif pendidikan karakteristik ini dipahami dari eksplorasi
pemaknaan terhadap interaksi pendidikan yang dilakukan Luqman, Ibrahim
dan Khidir.
Dalam kisah ini dijelaskan bahwa kompetensi yang dimiliki olehLuqman sebagai seorang pendidik, adalah bijaksana dan penuh kasih sayang. Kebijaksanaan Luqman ini disimpulkan dari cara pengajaran yang menekankan unsur kebijakan, karena ia telah diberi hikmah (kebijakan) oleh Allah. Dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan yang bersifat penuh kasih sayang, hal ini dapat kita cermati dari seruan Luqman kepada anak-anaknya, yaitu “Ya> Bunayya>” (Wahai anak-anakku), seruan tersebut menyiratkan sebuah ungkapan yang penuh muatan kasih sayang, sentuhan kelembutan dalam mendidik anak-anaknya.
Pribadi Ibrahim sebagai pendidik menunjukkan sikap demokratisdalam mendidik anaknya. Demokratisasi pendidikan diterapkan dengan sasaran memberikan pilihan anak didik dengan penuh pertimbangan dan tanggung jawab. Untuk tugas berat inilah Ibrahim berusaha memahami kejiwaan Ismail, bagaimana kesanggupannya menjalankan perintah Allah tersebut. Ibrahim telah meminimalisisr sikap otoritatif (pemaksaan) dalam pendidikan, yaitu dengan memahami kesiapan mental Ismail. Hal itu terjadi karena Ibrahim berusaha memahami siapa dan bagaimana kesanggupan anak didik yang dihadapinya.
Dalam kisah Musa dijelaskan bahwa Khidir adalah sosok guru yangpemaaf tapi tegas. Hal itu bisa dilihat dari prilaku Musa yang telah berkalikali melakukan kesalahan, tapi akhirnya Khidir tetap mau memaafkan, dan secara tegas langsung mengingatkan kesalahan Musa. Dari dua sifat pemaaf dan tegas itu dapat diketahui bahwa karakter Khidir adalah guru yang mengajar dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Sejak pertemuan pertama Khidir telah mengenal jiwa muridnya ituyang di dalam al-Qur’an pun telah dijelaskan bahwa Nabi Musa itu mempunyai sikap jiwa yang lekas meluapatau sepontan. Bahkan guru itu menjelaskan lagi, sebagai sindiran halus atas sikap jiwa murid dengan perkataannya: bahwa sebenarnya Musa tidak akan sabar bila ikut bersamanya.
Hal pokok lain yang harus dimiliki oleh guru, yaitu dia harus berpengetahuanluas dan memahami materi, hal ini juga nampaknya telah dimiliki oleh Khidir sebagaimana diketahui, ketika diceritakan kepada Musa bahwa ada seoranghamba Allah yang tinggal ditempat bertemunya dua laut, dia memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa. Selain itu diharapkan bagi setiap guru memiliki sifat sabar dan ikhlas dalam mendidik seperti apa yang telah
dilakukan Khidir kepada Musa.

3. Anak didik dengan etika akademiknya.
Pada bagian tedahulu telah banyak dibicarakan tentang figur gurusebagai pokok yang mencerminkan pribadi yang mulia. Pembicaraan yang hanya difokuskan pada permasalahan guru adalah janggal. Karenanya akan dibicarakan juga kedudukan anak didik sebagai sosok yang masih memerlukan bimbingan dari guru dalam pendidikan dan pengajaran. Agar
dapat memahami siapa anak didik itu sebenarnya, maka uraian pada bagian ini akan menjelaskan anak didik dan etika akademiknya yang ada dalam al-Qur’an melalui beberapa kisah dari Ismail, Musa dan Tharan. Etika anak didik dalam kisah-kisah ini meliputi: Patuh, tabah, sabar, punya kemauan atau citacita yang kuat serta tidak putus asa dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, sopan santun, rendah diri dan hormat pada guru.
Ibrahim telah meninggalkan sikap otoriter dan menetapkan sikap demokratis dalam mendidik Ismail. Implikasinya Ismail menunjukkan sikap patuh, tunduk dan tabah atas perintah penyembelihan itu. Ismail tidak menunjukkan rasa takut sama sekali atau berusaha untuk menyelamatkan diri dari maut hal itu terlihat dari dialog yang diucapkan Ismail terhadap ayahnya. Sebaliknya dengan bangga dan penuh rasa hormat dia mempersilahkan sang ayah untuk melaksanakan perintah tersebut. Hal ini terjadi karena dalam diri
Ismail terdapat keyakinan akan keberhasilan dalam melampaui ujian itu.
Pendidikan Luqman dilakukan dalam bentuk perintah dan larangan.Etika anak didik tidak menunjukkan reaksi inteaktif maupun dialogis. Juga tidak menunjukkan sikap menentang terhadap pendidik. Tidak ditemukannya reaksi jawaban dari anak Luqman pada ayat 12-19 tersebut menunjukkan sikap anak didik yang patuh.
Perjalanan jauh menuju pertemuan dua lautan dan dilanjutkan dengan
perlawatan bersama gurunya yang ditempuh dengan melampui daratan dan
lautan, memerlukan ketabahan, kesabaran, kemauan atau cita-cita yang kuat
serta tidak putus asa dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Dalam
kisah ini ketabahan dan kesabaran Musa salah satunya ditunjukkan oleh kata
huquba>. Selain sifat-sifat yang disebutkan di atas, Musa juga memiliki sifat
sopan santun terhadap guru dan rendah diri kepadanya yang tercermin dari
permohonan penejelasan pemahaman tanpa memaksa. Dalam kisah ini pun
menunjukkan reaksi interaktif antara Khidir dan Musa secara dialogis atasprilaku yang bertentangan dengan pengetahuannya.
Meskipun dalam kisah ini terdapat sedikit sifat pertentangan antara
guru dan murid, tapi sebagai murid yang baik, Musa berani mengakui
kesalahan dan segera meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat,
dengan penuh hormat dan rendah diri kepada guru. Dari uraian ini dapat
diambil garis merah bahwa nilai pendidikan yang terkandung dalan kisah Musa agar peserta didik memiliki motivasi yang tinggi dan memiliki sikap sopan santun dan rendah diri.

4. Metode pendidikan dengan efektifitasnya.
Metode adalah cara atau siasat, yang dipergunakan dalam pengajaran.
Sebagai strategi metode ikut memperlancar kearah pencapaian tujuan
pembelajaran. Peranan metode ini akan nyata jika guru memilih metode yang
sesuai dengan tingkat kemampuan yang hendak dicapai oleh tujuan
pembelajaran.
 Ada beberapa temuan-temuan metode yang terdapat dalam
kisah ini. Metode-metode tesebut ialah dengan cara mauizah ditemukan pada
diri Luqman. Pada Ibrahim ditemukan metode dialogis-demokratis.
Sedangkan Khidir menggunakan metode dialogis-uswah hasanah.
Dalam ekspedisinya dengan Nabi Musa, Musa berkali-kali bertanya
kepadanya tentang pelajaran yang belum berhak dipelajarinya secara tergesagesa.
Namun Nabi Khidir menegurnya dengan tenang bahwa muridnya ini
tidak akan bersabar. Dari peristiwa tersebut terlihat bahwa metode yang
digunakan oleh Nabi Khidir adalah membiasakan diri agar tidak tergesa-gesa
dalam menghukumi sesuatu, berdasarkan pada ilmu yang dimilikinya. Dalam
hal ini terlihat bahwa interaksi pendidikan Khidir kepada Musa terdapat aspek
dialogis yang terjadi.
Disamping itu terlihat juga Nabi Khidir menegakkan disiplin dengan
berusaha untuk menerangkan apa yang disepakatinya sebelum
pemberangkatan. Dari hal ini terlihat bahwa Nabi Khidir menggunakan
metode uswah hasanah atau memberi suri tauladan yang baik, yaitu selalu
berdisiplin, menepati janji, dan sadar akan tujuan.
Metode dialogis demokratis terlihat pada model pendidikan Ibrahim
terhadap Ismail. Dialog dipahami sebagai upaya untuk membuka jalur
informasi antara pendidik dan anak didik. Dalam hal ini, ibrahim
mendialogkan mimpinya tentang penyembelihan Ismail. Dialog dilakukan
untuk mengetahui persepsi psikologis Ismail tentang permasalahan yang
dihadapi. Disinilah Ibrahim mengenalkan konsep ketauhidan, dengan
menekankan perintah penyembelihan itu datang dari Allah.
Metode yang dilakukan Luqman terlihat pada metode mauizah yang
berfungsi untuk membangkitkan semangat spiritual untuk beriman kepada
Allah. Tidak ditemukan reaksi menentang yang dilakukan anak didik atas
nasehat Luqman. Hal ini berarti pendidikan melalui mauizah berjalan secara
monolog (searah) dari pendidik kepada anak didik dan tidak memberi
kesempatan kepada anak didik untuk menginterfensi nasehat tersebut.
Tampaknya metode mauizah ini efektif untuk menanamkan nasehat-nasehat
yang bersifat dogmatif-doktriner.

5. Evaluasi
Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan ubtuk menentukan
taraf kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam. Program evaluasi
ini di terapkan dalam rangka untuk mengetahui tingkat keberhasilan seorang
pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan124
kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode dan
sebagainya.
Fungsi evaluasi adalah membantu peserta didik agar ia dapat
mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar. .Di samping itu fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan metode pengajaran. Dalam suatu evaluasi pasti terdapat objek evaluasi. Objek evaluasi dalam arti umumnya adalah peserta didik sedangkan dalam arti khusus adalah aspek-aspek tertentu yang terdapat pada peserta didik. Menurut Nana Sujana pada umumnya terdapat tiga hal aspek
pokok sasaran evaluasi, yaitu:
1) segi tingkah laku
2) segi isi pendidikan
3) segi proses pembelajaran

Dari tiga kisah yang disajikan di atas dapat di ketahui sebenarnya
ketiga aspek pokok sasaran evaluasi diatas terbilang cukup baik dari pelakupelaku
kisah interaksi edukatif tersebut, meskipun terdapat sedikit kekurangan
tapi secara keseluruhan evaluasi yang dihasilkan terhadap peserta didik adalah
baik.
Kisah nabi Khidir mislnya secara keseluruhan semuanya baik, hanya
saja terdapat kekurangan pada sikap ketidak sabaran Musa yang belum bisa
berubah, dari segi isi pendidikan juga kurang hal ini dikarenakan bahasa yang digunakan Oleh Nabi Khidir kurang dapat difahami oleh Musa. Sedangkan segi yang menyangkut proses pembelajaran pun cukup baik.
Selanjutnya kisah Ibrahim, dari ketiga kisah diatas, kisah Ibrahim dan
Ismail adalah kisah yang mana aspek sasaran pokok evaluasi dapat terlampaui
dengan cukup baik, tidak ada hal yang kurang dalam proses pembelajaran
sehingga dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan Ibrahim
terhadap Ismail adalah berhasil.
Dalam kisah Luqman tiga aspek pokok sasaran evaluasi yang
diharapkan kurang terpenuhi hal ini dikarenakan karena tidak adanya jawaban
yang jelas dari anak Luqman, akan tetaapi dari hal tersebutlah dapat diambil
kesimpulan bahwa pembelajaran yang dilakukan adalah berhasil karena itu
dibuktikan dengan kepatuhan yang dilakukan oleh anaknya.
Dari ketiga kisah diatas jenis alat evaluasi yang dgunakan untuk
mengetahui seberapa jauh keberhasilan pembelajaran yang didapat adalah
dengan menggunakan tes lisan dan tes perbuatan

6. Pola interaksi edukatif
Setelah dilihat keseluruhan aspek interaksi edukatif yang terdapat pada
kisah-kisah dalam al-Qur’an tersebut berikut dengan penjelasannya, maka
dapat diketahui bahwa pola interaksi edukatif dalam al-Qur’an tersebut terdiri
dari metode searah dan metode interaktif. Metode searah menggambarkan
sentralisasi kegiatan pendidikan peda pendidik. Anak didik diposisikan
sebagai obyek pendidikan yang harus diisi dengan materi pendidikan. Metode
searah ini memiliki relevansi dengan materi pengajaran yang bersifat
dogmatis seperti masalah keimanan dan ibadah. Sikap tegas pendidik disertai
tanggung jawab atas profesi pendidikan mampu mengkondisikan sikap patuh
bagi anak didik.
Pola interaktif menggambarkan interaksi pendidikan berjalan dua arah
antara pendidik dan anak didik. Pola ini menjadikan dialog sebagai sarana
komunikasi untuk penyampaian pesan pendidikan. Efektifitas pola
komunikasi ini mengkondisikan pendidikan pada sifat demokratis, humanis
karena memberdayakan potensi anak didik secara rasional dan emosional.

B. Implementasi Konsep Interaksi Edukatif dalam Perspektif Kisah Al-Qur’an
pada Pembelajaran.

Konsep interaksi edukatif perspektif al-Qur’an di atas, bila
diimplementasikan dalam pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan.
Dalam pendidikan dan pengajaran, tujuan dapat diartikan sebagai
suatu usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan dari anak
didik, setelah menyelesaikan/memperoleh pengalaman belajar. Winarno
surakhmad memberikan keterangan bahwa rumusan dan taraf pencapaian tujuan pengajaran adalah merupakan petunjuk praktis tentang sejauh manakah
interaksi edukatif adalah harus dibawa untuk mencapai tujuan akhir.
Pada Undang-undang pendidikan RI No.20 tahun 2003, Bab II Pasal 3
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi menggambarkan kemampuan dan
pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab ”.
Dari rumusan tersebut dapat diberikan penjelasan secara rinci, bahwa
prinsip tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk membentuk manusia atau
warga negara memiliki kriteria sebagai berikut: beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Disamping itu banyak juga disebut-sebut bahwa tujuan pendidikan itu
pada hakikatnya memanusiakan manusia, atau mengantarkan anak didik dapat
menemukan jati dirinya. Diri manusia adalah makhluk individu, makhluk
sosial dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dari tujuan pendidikan
yang dimuculkan oleh kisah-kisah interaksi edukatif perspektif al-Qur’an di
atas yaitu,
 a) Pembinaan akhlak,
            b) Humanisasi,
c) Pembentukan insan kamil.

Maka tujuan pendidikan al-Qur’an tersebut dapat dihubungkan dengan tujuan
3 Undang-undang RI No.20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (pendidikan dan pengajaran yang terdapat dalam Undang-undang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebenarnya tujuan pendidikan yang ada dalam al-Qur’an sudah diimplementasikan dalam pendidikan dan pembelaran.

2. Materi pendidikan.
Materi pendidikan merupakan bagian yang penting dalam proses
belajar mengajar, yang menempati kedudukan yang menentukan keberhasilan
pembelajaran yang berkaitan dengan ketercapaian tujuan pengajaran, serta
menentukan kegiatan-kegiatan belajar mengajar. Pada pembahasan di atas
telah diketahui bahwa inti dari materi pendidikan dalam al-Qur’an
dikelompokkan dalam 3 aspek yaitu: akidah, syari’ah dan akhlak.
Tiga aspek tersebut pun masih dapat dijumpai dalam mata pelajaran
yang masuk dalam struktur kurikulum di sekolah saat ini, baik mulai dari
jenjang Taman Kanak-kanak (TK) hingga sampai pada jenjang Sekolah
Menengah Atas (SMA) yang intinya terdiri dari:
1) pengembangan Moral dan Nilai-nilai Agama,
2) Pengembangan sosial dan emosional,
3) pengembangan
4)kemampuan dasar.
 Dari sinilah dapat dikatan bahwa sebenarnya inti materi
pendidikan dalam al-Qur’an sudah diimplementasikan dalam pendidikan dan
pembelajaran.


3. Kompetensi Guru atau pendidik.
Dalam proses interaksi belajar mengajar, guru adalah orang yang
memberikan pelajaran dan siswa adalah orang yang menerima pelajaran.
Dalam mentransfer pengetahuan pengetahuan kepada siswa diperlukan
pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan sebagai guru. Tanpa ini semua
tidak mungkin proses interaksi belajar mengajar dapat berjalan secara
kondusif. Disinilah kompetensi dalam arti kemampuan mutlak diperlukan
guru dalam melaksanakannya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Beranjak dari pengertian inilah kompetensi merupakan suatu hal yang tidak
bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran.
Dalam konsep interaksi edukatif perspektif al-Qur’an dijelaskan
bahwa pendidik merupakan komponen dalam interaksi edukatif dan pendidik
mempunyai peranan yang lebih. Oleh karena itu, seorang pendidik harus
mempunyai kompetensi-kompetensi (sifat dasar pendidik), antara lain
meliputi bijaksana, penuh kasih sayang, demokratis, mengenal murid dan
memahami kejiwaaannya, berpengetahuan luas, memahami materi, sabar dan
ikhlas.
Jika melihat dalam konsep pendidikan dan pembelajaran saat ini,
diketahui bahwa banyak juga kajian tentang guru dan pendidik. Menurut
Ditjen ketenagaan, Dirjen Dikdasmen dan Depdiknas kompetensi guru adalah
suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan
pengetahuan dan perilaku perbuatan agar berkelayakan untuk menduduki
jabatan fungsional sesuai dengan bidang tugas, kualifikasi dan jenjang
pendidikannya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, pasal 10, dinyatakan bahwa kompetensi guru itu meliputi kompetensi
paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dalam penjelasan
undang-undang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi paedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta
didik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran yang
luas dan mendalam. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta
didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.5
Selain penjelasan di atas, kompetensi guru juga meliputi tentang
adanya kemampuan guru dalam kegiatan pembelajaran. Selama pembelajaran
berlangsung guru sendiri dituntut untuk mempunyai sifat yang demokratis
ketika melaksanakan pembelajaran. Sikap demokratis itu sendiri pada intinya
mengandung makna memperhatikan persamaan hak dan kewajiban semua
orang. Dalam konsep pendidikan sekarang guru yang memiliki sifat ini pada
umumnya dipandang sebagai guru yang baik dan ideal.
Dari semua penjelasan di atas, maka dapat ditarik benang merah
bahwa kompetensi pendidik yang tersirat pada kisah-kisah interaksi edukatif
dalam al-Qur’an sangat relevan dengan kompetensi guru (pendidik).
Selanjutnya dapat diketahui bahwa profil pendidik dan kompetensinya
menurut al-Qur’an sudah diimplementasikan dalam pendidikan. Hal itu dapat
dilihat dari banyaknya kesamaan kompetensi yang dipaparkan dalam al-
Qur’an dengan pembelajaran dan pendidikan saat ini.

4. Anak didik dengan etika akademiknya.
Murid adalah salah satu komponen dalam pengajaran, disamping
faktor guru, tujuan dan metode pembelajaran. Sebagai salah satu komponen
maka dapat dikatakan bahwa murid adalah komponen yang terpenting
diantara komponen lainnya. Pada dasarnya ”ia” adalah unsur penentu dalam
proses belajar mengajar. Tanpa adanya murid, sesungguhnya tidak akan
terjadi proses pengajaran. Sebabnya ialah karena muridlah yang
membutuhkan pengajaran dan bukan guru. Guru hanya berusaha memenuhi
kebutuhan yang ada pada murid. Muridlah yang belajar. Tanpa adanya murid
guru tidak akan mengajar. Sehingga murid adalah komponen terpenting dalam
hubungan proses belajar mengajar ini.
Karena hal itulah, maka al-Qur’an sebagai suatu kitab pedoman yang
kebenarannya akan tetap terjaga dan juga merupakan sebuah pedoman yang
berisi tentang semua hal yang ada juga mengemukakan tentang peserta didik.
Menurut kisah-kisah yang tedapat al-Qur’an yang telah di bahas di atas, dapat
dikatakan bahwa etika peserta didik yang harus dimiliki antara lain: Patuh,
tabah, sabar, punya kemauan atau cita-cita yang kuat serta tidak putus asa dan
bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, sopan santun, rendah diri dan
hormat pada guru.
Tugas utama seorang anak didik adalah belajar, makna dari kata
belajar adalah proses. Yang dalam hal ini suatu proses dimana seorang
pendidik mentransformasikan pengetahuan. Sehingga makna belajar lebih
ditekankan kepada prosesnya. Oleh karena itu, dari semua suku kata di atas
yaitu tentang makna belajar, apabila dipadukan akan mendapatkan suatu
definisi yaitu suatu peraturan normatif baik tertulis maupun tidak tertulis bagi
peserta didik dalam proses belajar dan bagaimana peserta didik mampu
mempertanggung jawabkan semua yang terjadi dalam proses belajar. Dalam
hal ini bisanya dituangkan dalam kode etik dan sifatnya etika terhadap
pendidik.
Sejalan dengan itu dapat diketahui bahwa etika peserta didik dalam al-
Qur’an khususnya yang terdapat dalam hasil kisah-kisah kajian di atas, harus
dimiliki oleh tiap peserta didik. Dari beberapa penjelasakan di atas, sudah
dapat dilihat bahwa sebenarnya etika peserta didik dalam al-Qur’an sudah
diimplementasikan dan relevan dengan pendidikan serta pembelajaran. Karena
sebenarnya etika peserta didik yang ada dalam al-Qur’an harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari hususnya dalam kode etik peserta didik

5. Metode pendidikan
Metode pendidikan berarti cara-cara yang dipakai oleh guru agar
tujuan pendidikan dapat dipakai secara efektif dan efisien. Pemilihan metode
pendidikan sangat ditentukan oleh bentuk pendidikannya. Minimal ada tiga
bentuk pendidikan yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, antara
lain pendidikan otoriter, pendidikan liberal, dan pendidikan demokratis.
Bentuk pendidikan ini menempatkan pendidik dan peserta didik dalam posisi
seimbang.
Dari ketiga bentuk tersebut, pendidik akan memilih metode apa
yang sesuai dengan bentuk pendidikan yang diterapkannya.
Dalam proses pembelajaran, seorang pendidik dalam memilih metode
pembelajaran sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. tujuan pendidikan
b. kemampuan pendidik
c. kebutuhan peserta didik
d. materi pelajaran

Dalam penjelasan terdahulu telah diketahui bahwa temuan-temuan
metode yang terdapat dalam kisah ini meliputi mauiz}ah yang ditemukan pada
diri Luqman. Pada Ibrahim ditemukan metode dialogis-demokratis.
Sedangkan Khidir menggunakan metode dialogis-uswah hasanah. Bila dilihat
lebih jauh lagi sebenarnya metode-metode di atas telah banyak dijumpai pada
pembelajaran sekarang ini. Seperti metode mauiz}ah yang sekarang lebih
dikenal dengan metode ceramah. Menurut Nahlawi metode ceramah ini sangat
cocok sekali untuk digunakan untuk menanamkan rasa iman. Metode ini pun
sering digunakan karena ceramah mudah dilakukan dan dapat menghasilkan
sejumlah materi pelajaran dengan peserta didik yang banyak pula.
Untuk merealisasikan metode dialog dan demokratis dapat digunakan
teknik-teknik sebagai berikut; teknik tanya jawab, teknik diskusi, teknik
bantah-bantahan, teknik brainstorming (sumbang saran). Teknik dialog dan
demokratis ini pun sering dijumpai dalam pembelajaran karena teknik ini
dianggap mampu mengaktifkan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Sedangkan metode uswatun hasanah dapat dijumpai dalam pembelajaran dan merupakan metode yang penting sebab teknik ini digunakan dengan cara memberikan contoh teladan yang baik, yang tidak hanya diberikan dalam kelas tapi dalam kegiatan sehari-hari oleh karena itu, setiap guru harus melaksanakan metode uswah ini dalam kehidupan sehari-harinya.
Selain memilih metode seorang guru juga harus pandai kapan ia harus
menggunakan satu metode saja dan kapan ia harus menggunakan multi
metode, seperti dalam uraian kisah di atas Luqman dalam pendidikannya dia
Cuma menggunakan satu metode saja sedangkan Khidir dan Ibrahim
menggunakan dua metode sekaligus.

Akhirnya dari uraian di atas tersebut membukikan bahwasesungguhnya metode yang ada dalam al-Qur’an tersebut telah diimplementasikan dalam pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar